Pendidikan Terdidik sebagai Agen Keadilan dan Kemanusiaan

Ilustrasi Artikel dari Artificial Intelligence (AI)


Oleh: Muh. Faozhan 

Kaum terdidik sepanjang sejarah manusia memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada sekadar menguasai ilmu pengetahuan atau teknologi. Mereka tidak hanya dituntut untuk memiliki pengetahuan teori dan keterampilan praktis, tetapi juga diharapkan mampu berpikir secara jernih, merasakan secara mendalam, dan bertindak dengan penuh kesadaran. Dalam hal ini, ketiga aspek penting cipta, rasa, dan karsa harus saling bersinergi untuk membentuk pribadi yang utuh. Unsur-unsur tersebut bukan semata-mata menjadi landasan budaya, melainkan juga merepresentasikan nilai-nilai kemanusiaan yang tumbuh dari pengalaman sejarah dan keterikatan pada tanah air serta lingkungan tempat kita tinggal


.Pertama, cipta adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, yang tidak hanya didasarkan pada kecerdasan intelektual atau rasional semata, melainkan juga harus diperkuat oleh moralitas dan kematangan batin. Seorang yang terdidik tidak cukup hanya mampu menciptakan sebuah inovasi atau sistem baru. Lebih dari itu, mereka harus merenungkan dampak dari karya atau penemuan itu terhadap nilai kemanusiaan. Apakah hasil ciptaannya akan memperkuat nilai-nilai kebaikan dan keadilan, atau justru mengurangi atau menindas nilai-nilai tersebut? Di era modern yang serba cepat, dimana efisiensi menjadi ukuran utama, kemampuan untuk berhenti sejenak dan merenungkan hasil kreativitas seseorang semakin langka. Karenanya, kaum terdidik harus menempatkan ilmunya sebagai pijakan dalam realitas kehidupan sehari-hari sekaligus melihat jauh ke depan, mengarahkan cita-cita yang luhur sebagai panduan dalam berkarya.


Kedua, rasa adalah kepekaan yang lebih tajam dari sekedar rasa empati biasa. Rasa di sini berarti kemampuan untuk menyerap dan merasakan apa yang tidak tersampaikan lewat kata-kata, memahami penderitaan dan kesulitan yang tersembunyi di balik penampilan luar. Dalam konteks suatu bangsa yang mungkin menyimpan banyak luka tersembunyi akibat berbagai masalah sosial, stagnasi, atau ketidakadilan, kaum terdidik harus menjadi sosok yang tidak acuh dan tidak membiarkan dirinya terbuai dalam kebutaan mental. Kepekaan rasa ini penting karena memberikan kekuatan untuk tidak hanya memahami secara intelektual, tetapi sekaligus membangun rasa peduli yang tulus. Dengan rasa yang mendalam, mereka mampu menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan tindakan yang berorientasi pada keadilan dan kemanusiaan.


Ketiga, karsa adalah kehendak atau kemauan untuk bertindak nyata, bukan sekadar sebuah niat yang kosong. Karsa mengandung makna keberanian dan keteguhan hati untuk mengambil langkah dalam situasi sulit sekalipun, selama itu adalah langkah yang benar dan adil. Kaum terdidik sejatinya bukan hanya berperan sebagai pengamat atau pengkritik yang hanya berbicara dari tempat yang nyaman dan jauh dari realitas, tetapi harus hadir di tengah masyarakat secara aktif. Mereka harus berdampingan dengan mereka yang tertindas dan terpinggirkan, menjadi pelaku perubahan yang nyata. Karsa adalah kekuatan yang memberi nyawa pada cipta dan rasa; tanpa karsa, segala ide dan kepekaan tidak akan berwujud menjadi tindakan berarti melainkan hanya tinggal wacana kosong.


Namun kenyataannya kini muncul sebuah ironi yang sangat memilukan. Banyak orang yang berpendidikan tinggi kehilangan ketiganya: cipta, rasa, dan karsa. Ilmu seolah berubah menjadi simbol status semata tanpa menelurkan kebijaksanaan. Sensitivitas rasa tersebut hilang dan digantikan dengan data statistika yang dingin. Karsa, yaitu kesediaan dan keberanian untuk bertindak demi kebenaran dan keadilan, semakin pudar karena tergoda oleh kenyamanan hidup dan jalan instan. Akibatnya, yang muncul hanyalah sosok manusia berpendidikan tetapi miskin akan tanggung jawab moral dan jiwa kemanusiaan.


Karena itulah, tugas utama kaum terdidik pada masa kini adalah mengembalikan dan menghidupkan kembali daya cipta yang bebas dan bertanggung jawab, menumbuhkan rasa yang peka dan empatik terhadap sesama, sekaligus menyalakan karsa untuk bertindak yang berpihak pada kehidupan yang mulia, adil, bermartabat, dan penuh kasih sayang kepada sesama manusia. Semua ini merupakan perubahan penting agar kecerdasan intelektual tidak kehilangan dasar nilai kemanusiaannya.


Kutipan penting dari Pramoedya Ananta Toer sangat relevan dalam konteks ini, yaitu bahwa seorang terpelajar harus sudah berbuat adil dalam pikirannya, bahkan sebelum dalam tindakannya. Dengan kata lain, pendidikan sejati tidak cukup hanya mengajarkan untuk mengetahui sesuatu secara teoretis, tetapi lebih penting mengajarkan bagaimana menjadi sadar, sadar akan nilai keadilan, kepedulian, dan keberanian untuk bertindak demi kebaikan bersama. Tantangan terpenting bagi mereka yang mengaku terdidik bukan hanya menjadi tahu, tetapi menjadi manusia yang benar-benar sadar dan bertanggung jawab atas keilmuan dan kedudukannya di masyarakat.


Dalam konteks kehidupan saat ini yang begitu dinamis, kaum terdidik harus mampu merefleksikan kembali peran dan fungsinya secara mendalam. Pendidikan tidak boleh kehilangan dimensi moral dan kemanusiaannya. Mereka harus mampu mengintegrasikan antara pengetahuan, kepekaan, dan keberanian bertindak dalam setiap aspek kehidupan. Dengan demikian, mereka bukan hanya menjadi penggerak inovasi dan kemajuan teknologi, tetapi juga pelopor keadilan sosial dan penjaga nilai kemanusiaan yang luhur.


Kaum terdidik yang ideal adalah mereka yang mampu membangun jembatan antara teori dan realitas, antara pikiran dan perasaan, serta antara ide dan aksi nyata. Keseimbangan cipta, rasa, dan karsa ini menjadi kunci agar ilmu yang dimiliki tidak menjadi alat penghancur kemanusiaan, melainkan justru menjadi sumber inspirasi dan tindakan positif yang nyata. Mereka harus melangkah keluar dari menara gading dan masuk ke dalam kehidupan masyarakat, untuk merasakan dan bersama-sama berjuang dalam membuka jalan menuju dunia yang lebih baik.


Lebih jauh lagi, kaum terdidik harus memiliki keberanian untuk mengkritik diri sendiri dan memeriksa nilai-nilai yang dianutnya. Mereka harus mengedepankan kejujuran intelektual dan kematangan moral supaya tidak terjebak dalam kesombongan ilmu semata atau mengejar prestise duniawi. Pendidikan yang sejati menuntut adanya hubungan harmonis antara kecerdasan intelektual, kepekaan hati, dan tindakan nyata yang berlandaskan pada etika.


Dalam dunia yang penuh tantangan global seperti sekarang, dimana konflik, ketidaksetaraan, dan degradasi nilai kemanusiaan semakin nyata, peran kaum terdidik menjadi semakin krusial. Mereka harus menjadi agen perubahan yang tidak hanya bergerak di bidang ilmu pengetahuan, tetapi juga menggerakkan hati dan melayangkan tindakan-tindakan yang menegaskan kemanusiaan dan kebaikan bersama. Ini bukan pekerjaan yang mudah, karena seringkali mereka harus menghadapi tekanan dari berbagai pihak yang berkepentingan, namun itulah esensi dari karsa yang dimaksudkan: keberanian untuk berbuat baik di tengah tantangan dan kesulitan.


Dalam rangka mencapai tujuan mulia tersebut, proses pendidikan harus mengedepankan nilai-nilai yang menguatkan cipta, rasa, dan karsa secara seimbang. Pendidikan harus menanamkan nilai kebebasan berkreasi yang bertanggung jawab, memperkaya kepekaan sosial dan emosional para peserta didik, serta melatih keberanian dan keteguhan hati untuk mengambil posisi dalam kebenaran dan keadilan. Hanya dengan cara ini, pendidikan dapat melahirkan kaum terdidik yang benar-benar siap membawa perubahan sosial dan budaya yang positif.


Kesimpulannya, kaum terdidik adalah pelaku sejarah yang memiliki tanggung jawab moral yang sangat besar melebihi sekadar menguasai teori dan teknologi. Mereka harus mampu berpikir cerdas dengan jernih, merasakan secara mendalam setiap penderitaan dan ketidakadilan yang ada, dan bertindak dengan penuh kesadaran dan keberanian dalam mengarahkan perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan cara inilah, nilai-nilai kemanusiaan dapat dipertahankan dan ditumbuhkan Bangkan sebagai warisan yang berharga bagi generasi masa depan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama