![]() |
Sumber Gambar: Artificial Intelligence (AI) |
Oleh;
Muslimin Magenda
Charles S. Pierce, boleh dibilang
adalah seorang pemula teori pragmatik. Olehnya, disebutkan, pragmatik lebih
tepat dikatakan sebagai sebuah praktik kehidupan yang selalu menggiring orang
pada sesuatu yang dia sebut sebuah tujuan.
Tulisan kali ini saya beri batasan
hanya pada simbol-simbol mati yang dikenakan oleh anak manusia dalam praktik
budaya subjektifnya. Mungkin terlalu arogan berkata begitu. Tapi saya meyakini
bahwa pedapat saya tidaklah subjektif, hanya karena pembahasan ini adalah
tentang cara sebagian orang memilih pakaiannya.
Emile Durkheim, sosiolog ini
menyebutkan bahwa manusia merupakan binatang yang senang bermain simbol. Mereka
tidak mampu melepaskan diri dari simbol-simbol yang tersedia di sekeliling.
Bahkan mereka menciptakan makna-makna khusus untuk beberapa simbol. Misalnya seorang
anak muda menggunakan celana Jean yang lututnya bolong, kaos berkerah, rambut
gondrong agak rapi, dan sekail tas pundak menggantung di bagian kanan badan. Ini
adalah ciri penyimbolan diri seorang aktifis mahasiswa yang populer sejak
reformasi 1998 lalu.
Dari rangkaian sistim simbol yang
mereka kenakan, terdapat satu bagian yang belum dimengerti oleh sebagian orang,
yakni bagian lutut celana yang bolong. Sebagian masyarakat menilai mereka
pemberontak yang tidak beretika atau mungkin lebih ekstrim, tidak bermoral.
Ternyata definisi itu subjektif. Tahun itu adalah tahun krisis segala aspek di
Negeri ini, salah-satunya adalah krisis ekonomi. Selain fakta bahwa aktifis
mahasiswa di masa itu sangat kental dengan idealismenya, mereka juga secara
langsung berhadapan dengan kemiskinan. Maka simbol lutut celana yang bolong itu
menjadi bagian dari simbol perlawanan terhadap krisis di Negeri ini, dimana
harga-harga barang naik, celana pun tidak mampu terbeli. Itu bukan hanya
definisi protes, tetapi juga sebuah fakta yang harus dialami oleh para aktifis
zaman itu.
Memang, tidak semua aktifis saat itu
menampakkan ciri seperti itu. Hanya, saya ingin menjelaskan maksud pragmatik
dari simbol-simbol sebagian dari mereka. Bahwa terdapat ide di balik semua
atribut yang dikenakan orang di era ini, tak terkecuali ide-ide picik yang
kadang membuat hati jengkel. Semua ada di sini, di tanah air yang paling
toleran ini.
Apa yang saya maksud dengan ide-ide
picik di balik simbol itu mungkin terlalu sepihak. Kita boleh berdebat tentang
ini di kemudian hari, seketika sempat. Misalnya, seorang mahasiswi di kelas
yang saya ajar yang mengenakan jilbal bercampur celana Jean yang bagian atas
lutut kedua kakinya robek seperti irisan silet. Menurut saya, ide yang dibawa
oleh anak itu tidak tepat sasaran. Meskipun dunia kampus adalah dunia yang
cukup menghargai dinamika, tetapi tetap saja terdapat beberapa aturan yang
cukup mengikat, sehingga harus diikuti. Hal semacam ini terjadi di ruang
pendidikan kita.
Dalam karya John Fiske, Understanding Popular Culture, 1995;
Juga membahas khusus masalah celana Jeans ini. Dijabarkan olehnya tentang
perubahan-perubahan maksud dan sistim produksi dari waktu ke waktu, yang mana
salah-satunya juga tentang pendekatan produksi dari sisi tindakan sosial.
Industri Jeans yang dipelopori oleh Levi Strauss telah menjamah ruang-ruang
antropologi, dimana produksi barang harus mengikuti selera masyarakat, tidak
peduli sekecil apapun jumlah karakter, selama itu bersifat massa, mereka tetap
adalah calon konsumen. Maka, salah-satu produk Jeans yang masih dipopulerkan
hari ini adalah yang sobek-sobek di bagian tertentu.
Meskipun niat awal pengguna celana
Jeans sobek-sobek itu adalah simbol perlawanan terhadap pengguna Jeans yang
mapan, elit, romantik, dan lain-lain. Tetapi karena para produsen menangkap itu
sebagai sebuah mode, maka terperangkaplah itu dalam sebuah proyek produksi
melalui iklan Jeans yang berbalut minuman, ekspresi kebebasan, ke-macho-an, dan
termasuk pesan-pesan perlawanan. Ternyata pengetahuan antropologi yang cukup
telah membantu pengembangan produksi dan model Jeans. Tidak hanya itu, mereka
bahkan memaksa para konsumen terbuai pada produk yang mereka sebar di pasar.
Sayangnya, konsumen yang hanya berorientasi mode hanya akan peduli bagaimana
agar mereka bisa mengikuti selera produksi.
Indonesia bukanlah satu-satunya Negara
yang menampung remaja plagiat praktik konsumsi semacam ini. Banyak anak muda
Barat juga melakukan itu hanya karena kesadaran pop yang memang sedang berhadapan dengan mereka. Apa itu kesadaran
pop tidak lebih dari kesadaran tren konsumsi yang bergerak searah dengan
topik-topik hangat di sosial media, media massa (Televisi, Radio, Koran,
Majalah, dan lain-lain). Posisi kesadaran ini selalu berlawanan dengan
kesadaran kritis sebagian orang, meskipun keduanya sama-sama membawa cita-cita
pragmatis.
Jubah-Jubah Kesialan
Selain tentang Jeans, ada tren aneh
yang kadang membuat saya merasa bingung sekaligus tersenyum oleh ulah sebagian
Warga Negara Indonesia (WNI). Soal penggunaan simbol keagamaan di dalam ruang
persidangan para terdakwa. Entah sudah berapa puluh kali saya menyaksikan
seorang terdakwa kasus asusila mengenakan kostum berbau agama di ruang
persidangan. Kontras dengan keseharian mereka sebelum dijatuhi sangkaan oleh
tim penyidik, hakim, dan jaksa penuntut. Kasus terakhir yang saya lihat di TV
adalah tersangka AA, seorang aktris yang dalam sangkaan telah menjajakkan
tubuhnya kepada para pejabat Negara.
Persoalannya bukan terletak pada apa
yang telah ia lakukan sampai ia menjadi tersangka sebuah kasus. Tetapi mengapa
ia memilih mengenakan kostum yang mahfum digunakan oleh umat Islam di saat
perkaranya disidangkan? Jika sempat membisikkan beberapa kata di telinga hakim,
saya ingin ia menanyakan terlebih dahulu soal seluk-beluk ia menggunakan Jubah
itu. Tetapi karena tidak sempat, maka saya ingin mengatakan, don’t let it followed by your children,
friends, and family (jangan biarkan anak-anak, kawan-kawan, atau kerabat
anda mengikutinya). Menurut saya, ini bagian dari kejahatan rasis yang paling
kejam, dimana setiap mereka ditimpa kesialan, mereka menggunakan simbol
salah-satu agama sebagai kedok. Kontras dengan keseharian mereka yang anti
dengan kostum religi tersebut.
Harus saya katakan ini adalah tindakan
menyublim simbol-simbol tertentu untuk sebuah cita-cita pragmatik yang sangat
tidak wajar. Menyublim tidak jauh dari pengertian mengurai sesuatu yang padat
menjadi cair, lalu memadatkannya kembali dengan cara melewati satu tahap yang
seharusnya. Seperti seseorang yang memanfaatkan sebuah dalil kitab suci untuk
mengelabui orang lain dari tindakan asusila yang sebenarnya adalah kelakuan
aslinya, tanpa melewati sebuah proses yang disebut pertaubatan. Alhasil,
semuanya hanyalah kepalsuan yang lama-kelamaan dapat meracuni para pendengar,
menjadilah itu sebagai sebuah kebiasaan yang menakutkan.
Seperti kita ketahui, agama bukan
sesuatu yang bisa kita sebut tren meskipun di dalamnya terdapat simbol-simbol.
Ia (agama) adalah seperangkat hukum sekaligus panduan hidup yang bagi
penganutnya, sangat suci untuk dipermainkan. Fenomena menyublim simbol agama
untuk tujuan pragmatik tertentu dapat dibilang tindakan pelecehan. Terlebih hal
itu ditunjukkan di hadapan publik. Kita tidak akan mungkin menahan presepsi
penonton yang banyak dengan hanya berkata don’t
judge something by its cover. Saya tidak berharap ada beberapa selentingan
muncul, bahwa pelaku tindakan asusila adalah seorang agamawan, yang pada
akhirnya menjadikan orang malu dalam beragama. Satu bukti kecil yang hari ini
seperti menjadi kesan permanen di kepala masyarakat adalah ciri-ciri peneror
yang melekat pada kepemilikan janggut, seragam agama, memiliki jidad hitam,
pendampingnya mengenakan penutup muka, dan lain-lain. Pandangan semacam itu
mungkin hanya terdapat di ruang interaksi orang Indonesia, termasuk NTB.
Akhir kata, kita perlu mengajarkan
generasi tentang arti penting suatu simbol sebagai salah satu gagasan dalam
membangun pondasi identitas, agar tidak tersesat dalam rimba budaya pop yang
telanjur merambat. Budaya ikut-ikutan “an-sich” akan mengikis identitas secara
perlahan, pada waktunya nanti kita mungkin tidak lagi memilikinya. Tentu kita
tidak ingin menjadikan bangsa ini dihuni oleh “The lost generation” seperti
kata seorang jurnalis Amerika, Ernest Hemingway. Generasi yang kehilangan arah, melupakan
peradabannya sendiri.