![]() |
| Potret udara, bencana alam di Aceh, Sumut dan sumbar. |
Oleh: Muslimin M. Pd
Dosen universitas Muhammadiyah Mataram
Mataram, fulusisme.com -Masih ingat ketika pemerintah Australia mengungkit bantuannya saat tsunami di Aceh 2004 lalu? Mereka mengatakan Indonesia sebagai negara yang tidak tahu diri, tidak tahu balas budi. Mereka ingin membebaskan salah seorang warga negaranya yang divonis mati oleh Indonesia karena menyelundupkan narkoba.
Contoh lain, Amerika pernah membantu pemulihan situasi pasca perang dunia kedua di Negara-negara Eropa. Tetapi alasan lain di balik itu agar membendung penyebaran komunisme Soviet yang berkembang di Eropa kala itu. Selain itu juga membuka peluang pasar bagi produk Amerika di Eropa. Ini benar-benar terjadi, Amerika berhasil menguasai pasar Eropa pasca itu
Ini hanya dua dari sekian banyak yang dikhawatirkan oleh Negara ini ketika membuka pintu donasi internasional melalui pintu G to G.
Kedua, jika sudah status darurat nasional itu artinya pemerintah Indosia secara tidak langsung mengundang seluruh Negara di dunia untuk memberi dukungan/bantuan. Jika menolak salah satu saja dari mereka, maka sudah pasti akan mendapat cibiran secara internasional atas nama kemanusiaan. Jangankan urusan kemanusiaan, urusan olahraga saja Indonesia menolak Israel langsung mendapatkan imbas sabotase super massive.
Ketiga, Indonesia akan kehilangan wibawa dan martabat bila itu diputuskan. Darurat nasional adalah menyatakan diri tidak sanggup menangani urusan kemanusiaan secara nasional. Semua orang di Indonesia ini menyatakan dirinya tidak mampu menolong satu sama lain dengan baik. Di sini kita diuji mentalitasnya.
Keempat, status darurat nasional tidak membuat penanganan darurat langsung teratasi seketika begitu saja hanya karena perubahan status. Tetapi dampaknya akan panjang. Kita membuka pintu utang budi kepada semua orang di belahan bumi ini. Padahal tidak dapat juga merubah keadaan bagai membalikkan telapak tangan.
Kelima, status bencana propinsi dan daerah justeru membuka ruang komunikasi langsung antar relawan kemanusiaan internasional. Dengan begitu, bantuan internasional tetap bisa masuk, tetapi tidak mengikat negara untuk berpikir balas budi. Karena hubungannya hanya antar masyarakat saja.
Keenam, mekanisme tanggap darurat itu tidak seperti cara kerja media sosial, dimana orang berteriak di media sosial langsung direspon serampangan. Contoh, penjarahan yang terjadi di toko-toko itu apakah semua dilakukan oleh semua korban bencana? Saya yakin tidak. Ada banyak orang yang bukan korban yang ikut menikmati penjarahan itu. Bahkan mungkin provokatornya adalah bukan dari korban bencana.
Ketujuh, jangan kita menganggap semua korban bencana itu sebagai objek. Sebaliknya, jangan juga sebagai masyarakat terdampak lalu merasa diri paling darurat dan harus segera diperhatikan, lalu membuat video teriak-teriak mengamuk memarahi relawan yang bekerja di lapangan. Tahukah kita, bahwa mereka yang bekerja juga di lapangan ada yang sampai meninggal dunia karena musabab medisnya kecapean, kurang istirahat, dll.
Kedelapan, hal-hal yang perlu diperkuat adalah agar pemerintah lebih maksimal mengerahkan sumberdayanya, mempercepat mekanisme pergantian tim agar yang di lapangan tidak kelelahan, mempercepat sistim koordinasi agar tidak terlalu banyak bicara hal-hal yang bukan prioritas seperti sibuk membicarakan penyebab bencana ketimbang membicarakan mekanisme percepatan penanganan darurat. Berita seperti itu bukan tidak penting, tetapi ada yang jauh lebih penting yakni penanganan darurat itu sendiri.
Fokuslah wahai masyarakat dan pemerintah.

Posting Komentar